

Dedi Mulyadi Hapus PR Siswa Mulai Tahun Ajaran Baru Dan Hal Ini Memiliki Manfaat Psikologis Dan Sosial Bagi Anak. Anggota DPR RI sekaligus tokoh pendidikan dari Jawa Barat, Dedi Mulyadi, membuat gebrakan dengan mengusulkan penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa mulai tahun ajaran baru. Menurut Dedi, PR tidak lagi relevan dalam sistem pendidikan modern karena hanya menambah beban siswa di luar jam sekolah. Ia berpendapat bahwa anak-anak seharusnya memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat, bermain, serta mengembangkan kemampuan sosial dan emosional di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa sistem pendidikan sebaiknya fokus pada efektivitas proses belajar di sekolah. Ia menilai bahwa jika proses belajar di kelas berjalan baik, maka siswa tidak perlu lagi diberi PR. Ia juga menekankan pentingnya metode pembelajaran aktif dan menyenangkan agar siswa lebih memahami materi tanpa harus membawanya pulang. Selain itu, Dedi menyoroti banyaknya siswa yang merasa stres akibat tumpukan PR, bahkan ada yang kehilangan waktu tidur dan waktu berkualitas dengan keluarga.
Gagasan Dedi ini mendapat respons beragam. Beberapa orang tua mendukung karena merasa anak-anak mereka bisa lebih seimbang antara belajar dan bermain. Namun, ada pula pihak yang khawatir penghapusan PR akan menurunkan kedisiplinan belajar siswa. Menanggapi hal itu, Dedi menyarankan agar guru lebih kreatif dalam menyampaikan materi di kelas dan memperbanyak aktivitas belajar yang bersifat praktis atau kolaboratif.
Dedi juga menyarankan agar sekolah-sekolah lebih banyak melibatkan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler atau proyek kelompok yang mendidik, tanpa membebani mereka secara akademik di luar jam pelajaran. Dengan begitu, siswa tetap bisa belajar namun dalam suasana yang menyenangkan dan tanpa tekanan. Ia berharap kebijakan ini bisa memicu reformasi pendidikan yang lebih manusiawi dan ramah anak.
Penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa dapat membawa Dampak Bagi Dunia Pendidikan, baik dari sisi positif maupun tantangan yang perlu diantisipasi. Dari sisi positif, penghapusan PR memberi kesempatan bagi siswa untuk memiliki waktu luang yang lebih seimbang antara belajar dan kehidupan pribadi. Hal ini penting untuk mendukung perkembangan emosional, sosial, dan kreativitas siswa. Anak-anak dapat lebih banyak berinteraksi dengan keluarga, bermain, serta mengeksplorasi minat di luar pelajaran sekolah. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan generasi yang lebih sehat secara mental dan tidak terbebani oleh tekanan akademik yang berlebihan.
Namun, di sisi lain, penghapusan PR juga menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya disiplin belajar di luar jam sekolah. Selama ini, PR dianggap sebagai cara untuk melatih tanggung jawab dan kemandirian siswa dalam menyelesaikan tugas tanpa pengawasan langsung dari guru. Jika PR dihapus, maka guru dan sekolah perlu mencari metode lain agar siswa tetap terbiasa belajar mandiri di rumah. Salah satu solusinya adalah memperkuat aktivitas belajar di kelas dengan pendekatan yang aktif, kontekstual, dan menyenangkan, sehingga siswa memahami materi dengan baik tanpa perlu mengulangnya di rumah.
Dampak lain yang mungkin muncul adalah pergeseran peran orang tua dalam proses pendidikan. Tanpa PR, interaksi belajar antara anak dan orang tua bisa berkurang, terutama jika orang tua sebelumnya terlibat dalam membantu tugas sekolah anak. Maka dari itu, sekolah perlu menciptakan ruang baru bagi keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan yang tidak melulu berfokus pada tugas akademik, misalnya melalui proyek keluarga atau kegiatan sekolah berbasis komunitas.
PR Resmi Di Hapus Dedi Mulyadi mulai tahun ajaran baru. Kebijakan ini di berlakukan secara menyeluruh di seluruh satuan pendidikan di wilayah tersebut. Dedi Mulyadi menegaskan bahwa semua tugas siswa harus di selesaikan di sekolah, sehingga mereka tidak perlu membawa pekerjaan pulang. Ia menilai bahwa waktu di rumah sebaiknya di gunakan anak-anak untuk beristirahat, bermain, membaca, membantu orang tua, atau mengembangkan keterampilan hidup seperti memasak dan bersih-bersih rumah. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya terfokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kehidupan sehari-hari yang seimbang.
Penghapusan PR ini merupakan bagian dari reformasi pendidikan yang lebih besar. Dedi ingin menciptakan generasi yang sehat, cerdas, jujur, sopan, dan terampil. Ia merasa bahwa tekanan akademik yang berlebihan, termasuk melalui tumpukan PR, bisa merusak keseimbangan tumbuh kembang anak. Dalam pandangannya, belajar seharusnya menjadi proses yang menyenangkan dan tidak membuat anak kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan keluarga maupun lingkungan sekitar. Oleh karena itu, ia mendorong sekolah-sekolah untuk memaksimalkan waktu belajar di kelas dan mengembangkan metode pembelajaran yang aktif serta melibatkan siswa secara langsung.
Kebijakan ini di sambut dengan berbagai pendapat. Sebagian guru dan orang tua menyambut baik, karena melihat manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental dan sosial anak. Namun, sebagian lainnya merasa khawatir karena takut anak-anak kehilangan kedisiplinan dalam belajar mandiri. Untuk menjawab hal ini, Dedi mendorong guru untuk mengembangkan sistem belajar yang menanamkan rasa tanggung jawab di dalam sekolah. Tanpa perlu bergantung pada PR. Ia juga mulai menerapkan aturan baru lain. Seperti jam malam bagi pelajar, agar anak-anak lebih terarah dan terhindar dari pergaulan bebas.
Meniadakan pekerjaan rumah (PR) dari sistem pendidikan dapat memberikan Manfaat Psikologis Dan Sosial yang cukup besar bagi siswa. Dari sisi psikologis, beban mental siswa akan berkurang karena mereka tidak lagi. Di bebani tugas tambahan setelah seharian belajar di sekolah. Banyak anak merasa cemas dan tertekan saat harus menyelesaikan PR, apalagi jika jumlahnya banyak dan di berikan hampir setiap hari. Dengan di hapuskannya PR, anak-anak bisa menikmati waktu di rumah dengan lebih santai dan tenang. Mereka bisa tidur cukup, bermain, dan melakukan aktivitas yang menyenangkan, yang semuanya berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih stabil.
Selain itu, waktu luang yang lebih banyak memungkinkan anak mengembangkan minat dan bakat di luar pelajaran sekolah. Anak-anak dapat mengeksplorasi hobi, seperti menggambar, menulis, bermain musik, atau berolahraga. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya membuat anak lebih bahagia, tetapi juga membantu mengasah kreativitas dan kecerdasan emosional. Anak yang tidak terlalu stres karena beban akademik cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih baik. Dan hubungan yang lebih positif dengan orang lain, termasuk teman sebaya dan anggota keluarga.
Dari sisi sosial, penghapusan PR memberi ruang bagi anak untuk lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak-anak bisa bermain bersama teman di luar jam sekolah, yang penting. Untuk melatih keterampilan sosial, seperti kerja sama, empati, dan kemampuan menyelesaikan konflik. Mereka juga bisa lebih dekat dengan keluarga karena waktu di rumah tidak lagi di habiskan hanya untuk mengerjakan tugas. Dalam jangka panjang, ini membentuk anak menjadi pribadi yang seimbang. Tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga matang secara emosional dan sosial. Inilah kebijakan baru yang akan di tetapkan oleh Dedi Mulyadi.